Deli Serdang, Rakyat Bersatu news.com | Aksi pemagaran di kawasan hutan lindung Dusun IV, Desa Rugemuk, Kecamatan Pantai Labu, kembali membuka mata publik tentang maraknya praktik mafia tanah yang diduga dilindungi oleh kekuasaan. Sabtu, 12 Juli 2025, warga geram dan akhirnya mengusir petugas Satpol PP Kabupaten Deli Serdang yang mengawal proses pemagaran lahan yang diklaim oleh seseorang bernama Parman Ngasip, warga asal Medan.
Warga menyebut tindakan ini sebagai bentuk penjajahan terang-terangan terhadap ruang hidup dan hak akses masyarakat. Pasalnya, pemagaran tersebut menutup jalan menuju kawasan konservasi hutan mangrove yang selama ini dijaga oleh kelompok tani setempat.
Komandan Satpol PP, Sukarwan, ketika dikonfirmasi awak media, bersikeras bahwa pihaknya hanya menjalankan perintah untuk mengawasi pekerjaan pemagaran karena PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) telah terbit. Namun, ketika ditunjukkan fakta bahwa lahan yang dipagar masuk dalam daerah aliran sungai dan kawasan hutan lindung, Sukarwan enggan menjawab dan justru melempar tanggung jawab ke Dinas Cipta Karya.
"Yang penting saya ditugaskan oleh pimpinan untuk mengawasi pekerjaan ini. Kalau ada pertanyaan, silakan konfirmasi ke Dinas Cipta Karya. Tidak ada yang bisa menghentikan pemagaran ini kecuali Pimpinan saya! "ujar Sukarwan dengan nada arogan kepada Kepala Desa Rugemuk.
Perlakuan yang dianggap tidak menghormati kepala desa itu memicu kemarahan warga. Massa yang mulai tersulut emosinya langsung meminta seluruh petugas dan pekerja meninggalkan lokasi. Takut terjadi bentrok, Satpol PP dan pekerja akhirnya mundur dari area pemagaran.
Kepala Desa Rugemuk, Muliadi, membenarkan bahwa lahan yang sedang dipagar tersebut diklaim oleh Parman Ngasip. Namun, Pemerintah Desa telah tiga kali menyurati yang bersangkutan untuk menunjukkan dokumen kepemilikan tanah, tetapi tidak pernah hadir.
“Kita sudah tiga kali layangkan surat agar beliau hadir dan menunjukkan surat tanahnya. Tapi anehnya, lokasi yang diklaim itu diduga berada di dalam kawasan hutan lindung. Masak bisa ada surat tanah di hutan lindung? Itu jelas melanggar hukum,” tegas Muliadi.
Muliadi menambahkan bahwa lahan tersebut merupakan kawasan konservasi yang saat ini dikelola oleh Kelompok Tani Hutan Mangrove dan dilindungi oleh undang-undang.
Situasi ini membuat warga semakin waspada. Mereka khawatir jika dibiarkan, maka praktik-praktik seperti ini akan menjadi pintu masuk bagi mafia tanah lain yang ingin menguasai kawasan hutan lindung di wilayah pesisir Pantai Labu.
“Kalau pemerintah tidak segera bertindak, akan muncul mafia tanah-mafia tanah baru. Lama-lama hutan kita habis, dirampok pakai surat bodong, ” ucap salah satu warga dengan nada geram.
Kasus ini kembali menjadi tamparan keras bagi aparat penegak hukum dan instansi terkait. Masyarakat menilai pembongkaran pagar bukanlah solusi satu-satunya. Harus ada proses hukum yang transparan dan tegas terhadap pihak-pihak yang mencoba merebut kawasan hutan lindung dengan dokumen-dokumen yang patut diduga palsu.
Masyarakat berharap Gubernur Sumatera Utara, Kapolda Sumut, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut tidak menutup mata. Kawasan hijau di Pantai Labu adalah paru-paru wilayah pesisir yang harus dilindungi, bukan dirampas oleh segelintir orang yang bermain di balik meja kekuasaan.